Ia lahir tangga 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat. Tamat dari SD-nya ia masuk Sekolah Ekonomi di Kayutanam yang didirikan SM Latif. Iepernah bekerja sebagai wartawan Antara, wartawan Merdeka, majalah Mutiara, Mingguan Masa dan Harian Indonesia Raya sampai tahun 1974, kemudian menjadi penanggung jawab majalah Horison (sejak tahun 1966), Direktur Yayasan Obor dan anggota Akademi Jakarta sejak tahun 1970 untuk seumur hdup. Pernah pula menjabat sebagai Presiden Press Foundation of Asia, anggota dewan pimpinan International Press Institute, anggota dewan pimpinan International Association for Cultural Freedom dan anggota Federation Mondial pour sur le Futur.
Pada era Soekarno pernah dipenjara selama sepuluh tahun karena tulisannya yang dianggap subversif dengan judul Indonesia di Mata Dunia, yang menceritakan duta-duta besar Indonesia yang kerjanya hanya berfoya-foya saja,selama dalam tahanan ia menerbitkan bukunya yang berjudul catatan Subversif.
Sebagai seorang wartawan, ia pernah memperoleh hadiah Magsaysay dan Hadiah Pena Emas dari World Federation of Editors and Publishers.Selain itu novelnya yang berjudul Jalan tak ada ujung -1952, memenangkan hadiah Sastra Nasional BMKN.Karya-karyanya Harimau-harimau -1975, Si Jamal dan Cerita-cerita lain -1951, Teknik mengarang Skenario film -1952, Tanah gersang -1966, Harta KArun-1964, Senja di Jakarta-1970, Judar bersaudara -1971, Penyamun dalam Rimba-1972, Maut dan Cinta-1977, Manusia Indonesia-1977 dsb.
Terjemahannya antara lain, Tiga cerita dari Negeri Dollar karangan Jhon Steinbeck, Orang kaya karangan F Scott F dsb.Sedangkan perlawatannya ke berbagai negara dibukukannya dalam Perlawatan ke Amerika Serikat-1951, Perkenalan DI Asia Tenggara, Catatan Korea -1951, Indonesia di Mata dunia-1955.
Source Jajak MD - Para Pujangga Indonesia
Biografi Mochtar Lubis
Kamis, 08 Mei 2008
Diposting oleh Tutorial Club di 05.53 0 komentar
Label: Biografi
Biografi Asrul Sani
Asrul Sani seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin meninggal dunia hari Minggu 11 Januari 2004 malam sekitar pukul 22.15 di kediamannya di Jln. Attahiriah, Kompleks Warga Indah No. 4E, Pejaten Jakarta. Seniman kelahiran Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 ini wafat setelah kesehatannya terus menurun sejak menjalani operasi tulang pinggul sekitar satu setengah tahun sebelumnya.
Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua diantaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.
Sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dituntut bertanggungjawab untuk menghasilkan karya-karya sastra pada zamannya, namun lebih dari itu, mereka adalah juga nurani bangsa yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Adalah tidak realistis sebuah bangsa bisa merdeka hanya bermodalkan bambu runcing. Namun ketika para “nurani bangsa” itu mensintesakan keinginan kuat bebas merdeka menjadi jargon-jargon “merdeka atau mati” dan semacamnya, maka, siapapun pasti akan tunduk kepada suara nurani.
Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.
Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, ‘kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan’.
Asrul Sani yang kelahiran Rao, Pasaman, Sumatera Barat 10 Juni 1927 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, selain penyair adalah juga penulis cerita pendek, esei, penterjemah berbagai naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film, serta sekaligus sutradara panggung dan film. Bahkan, sebagai politisi ia juga pernah lama mengecap aroma kursi parlemen sejak tahun 1966 hingga 1971 mewakili Partai Nahdhatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu semua terjadi, terutama aktivitas keseniannya, adalah karena keterpanggilan jiwa sebab meski telah menamatkan pendidikan sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kehewanan IPB Bogor (ketika itu masih fakultas bagian dari Universitas Indonesia) dan menjadi dokter hewan, pada sekitar tahun 1955 hingga 1957 Asrul Sani pergi ke Amerika Serikat justru untuk menempuh pendidikan dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California.
Seni dan keteknikan adalah dua dunia yang berbenturan dalam diri Asrul. Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Asrul Sani menuju Jakarta belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (di kemudian hari dikenal sebagai Institut Pertanian Bogor). Sempat pindah ke Fakultas Sastra UI namun kemudian balik lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan. Agaknya kekuatan jiwa seni telah memenangkan pertaruhan isi batin Asrul Sani. Maklum, bukan hanya karena pengalaman masa kecil di desa kelahiran yang sangat membekas dalam sanubarinya, sebelum ke Negeri Paman Sam Amerika Serikat pun pada tahun 1951-1952 ia sudah terlebih dahulu ke Negeri Kincir Angin Belanda dan belajar di Sekolah Seni Drama.
Selain karena pendekatan akademis dan romatisme kehidupan pertanian di desa, totalitas jiwa berkesenian terutama film makin menguat pada dirinya setelah Asrul Sani bertemu Usmar Ismail, tokoh lain perfilman. Bahkan, keduanya sepakat mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang melahirkan banyak sineas maupun seniman teater kesohor, seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek W. Maliyati, Ismed M Noor, Slamet Rahardjo Djarot, Nano dan Ratna Riantiarno, Deddy Mizwar, dan lain-lain.
Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nomibasasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.
Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.
Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya. *hp
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Diposting oleh Tutorial Club di 05.49 0 komentar
Label: Biografi
Coro-coro yang Berotak
Jumat, 02 Mei 2008
Sudah tiga minggu aku ditempatkan atau tepatnya dipindahkan bekerja di bagian ini. Bagian yang banyak orang mengatakan sebagai bagian yang lumayan basah di
Semua urusan berjalan lancar, baru pada minggu keempat aku mulai menemukan sesuatu yang membuatku tak habis pikir. Dimulai ketika suatu pagi aku datang lebih awal (aku ingin memberi contoh kepada staf-stafku) ke kantor. Ketika aku memasuki ruang kerjaku yang tidak terlampau luas tapi cukup bersih dan tertata rapi, nampak seekor
Tak kuduga binatang yang tampaknya lemah itu dapat berkelit dengan gesit. Ia tahu-tahu sudah berpindah di atas kursi. Aku memburu dan memukulnya sekali lagi. Tapi bak seorang pesenam,
“
“Itu Man, coba lihat!” kataku. Parman tersenyum melihat
Aku segera melupakan insiden kecil itu. Tapi esok harinya aku merasa ditantang. Betapa tidak, ketika datang tidak saja satu
Aku langsang meradang. Tas yang kujinjing langsung meluncur dan menghantam meja dengan kerasnya. Tembakanku melesat. Coro-coro itu malahan berkumpul di sandaran kursiku dengan santainya. Aku diam mengintai. Mereka tenang-tenang saja tak menghiraukanku. Aku jadi lupa dengan rasa jijikku, melompat sambil menghantamkan telapak tanganku. Kursi mencelat tapi tak ada satupun yang jadi korban. Keluarga
Kejengkelanku makin hari makin memuncak. Coro-coro itu seperti sengaja menerorku. Mereka muncul tidak saja saat ruanganku sepi di pagi hari. Tapi juga siang hari saat aku sibuk bekerja mereka muncul hilir mudik di mejaku. Bahkan yang memalukan saat aku sedang menerima tamu mereka berkeliaran bahkan dengan beraninya memanjat sepatuku dan merayap di punggungku. Berkali-kali pula barang-barang di mejaku jadi korban salah sasaran, bahkan pernah gelas dan asbak kaca pecah berantakan dan tanganku berdarah, tapi coro-coro itu sepertinya selalu punya kesaktian untuk menghindar. Berkali-kali pula kusuruh Parman melakukan razia besar-besaran di ruang kerjaku, tapi selalu hasilnya nol besar.
Aku benar-benar sampai pada puncak kemarahan. Aku merasa dilecehkan habis-habisan ketika suatu siang di meja dan di laci mejaku penuh dengan telur-telur
“Kamu itu benar-benar nggak becus Man! Masak kamu nggak bisa mengurusi coro-coro itu. Kamu
“Maaf Pak, kemarin sudah saya semprot kok,” kata Parman sambil menundukan kepala,. “Tapi serangga-serangga itu sepertinya kebal. Malah saya sudah habis dua botol obat serangga.”
“Kamu
” Seluruh ruangan, gedung sebesar dan sebersih ini? Ah, kamu jangan ngaco!”
“Sumpah Pak, saya tidak bohong. Malah di ruang Kepala Dinas paling banyak dan subur. Bahkan di ruang Mbak Desy sebelah itu juga banyak dan gemuk-gemuk,” katanya meyakinkan.
Aku menjadi terbengong-bengong, terlebih lagi ketika Parman menyebut-nyebut Kepala Dinas juga Desy, pegawai termuda dan paling cantik di kantor ini. Aku penasaran. Mulai hari itu aku menjadi seperti detektif mengamati setiap ruang dengan diam-diam terutama ruang Desy yang terletak di sebelah kanan ruang kerjaku.
Sampai pada suatu siang aku dapat melihat bahwa Parman tidak omong kosong. Ruang Desy yang bersih rapi dengan tatanan warna yang romantis itu kerap kali melintas beberapa
Sehari setelah kejadian itu aku dipanggil menghadap Kepala Dinas di ruangannya. Benakku langsung dipenuhi dengan berbagai pertanyyaan, dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasa. “Jangan-jangan ini gara-gara
“Mari masuk Dik, duduk di sini, santai saja”, sambut Kepala Dinas dengan ramah sambil tersenyum lebar menatapku. Dengan ragu-ragu aku menggeser kursi di depannya. Ruangan ini begitu rapi dengan dominasi warna biru lembut. Tumpukan map di meja, tiga pesawa telepon, dan rak di samping dan di belakang tempat duduknya penuh dengan buku-buku tebal. Rupanya seorang yang intelek juga bosku ini, pikirku dalam hati.
Tiba-tiba aku terpekik ketika sudut mataku melihat persis didepan Kepala Dinas muncul dua sungut seperti antenna bergerak-gerak. Lalu muncul kepala dan seluruh tubuh seekor
“Ini to, yang membuat kamu kaget, tenang saja, binatang ini lucu dan menggemaskan kok”, katanya sambil terus membelai punggung
“Kamu tidak perlu jijik dan takut dengan serangga lucu ini”, sambungnya, “Semua pegawai di sini sudah pada akrab dengan mereka. Dulu mereka ya seperti kamu, tapi lama-lama jadi biasa berteman dengan mereka. Kamu tahu Desy
Aku tidak tahu harus berkata apa. Kepala Dinas itu melanjutkan ceramahnya.
”Aku memanggilmu kesini ingin membantumu beradaptasi dengan binatang-binatang ini. Orang lain mungkin menganggap serangga ini menjijikkan tapi sebenarnya hewan ini sama dengan hewan peliharaan seperti kucing, anjing atau ikan hias. Kaum
Aku menjadi semakin terlongoh-longoh mendengarkan penjelasannya itu. Bosku menjulurkan sebuah
“Coba lihat dan amati dua
Di dalam kotak itu aku melihar coro-coro beraneka rupa. Aku terpaksa mengamatinya. Tiba-tiba aku tak dapat menahan rasa ingin tahuku dan bertanya. “Maaf Pak, sayap-sayap mereka kok berbeda-beda?”
Mendengar pertanyaanku itu, Kepala Dinas tertawa ngakak, “Nah, rupanya kau sudah mulai tertarik dengan binatang lucu ini
“Lalu bagaimana cara mereka berkembang biak Pak?” tanyaku yang menjadi makin penasaran.
Senyum Kepala Dinas tambah lebar dan dengan lebih bersemangat ia kembali menjelaskan.
“
Aku tambah melongo mendengar kuliah percoroan dari atasanku itu. Ketika otakku masih mencoba mencerna penjelasannya itu, beliau makin bersemangat menjelaskan.
“Kamu tahu, aku sendiri malah punya hobi memelihara coro.Coro koleksiku sudah ratusan jumlahnya dalam berbagai bentuk dan jenis. Ada yang berjenis paling kecil yang panjangnya cuma 0,6 cm ada pula yang berjenis besar yang panjangnya sampai 7,6 cm. Dan ini, coba lihat, kemarin ketika aku ada urusan di
Tangan Kepala Dinas mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan …astaga! Aku hampir saja berteriak ketika melihat sebuah
“Ini jenis kecoak Queensland Australia. Bahasa latinnya mascropanesthis Rhinoceros, panjangnya 3, 15 inci dan bobot tubuhnya 1,2 ons. Tubuhnya tidak berbau dan dapat mencapai umur tiga tahun. Warnanya bagus
Sambil berkata Kepala Dinas menyorongkan
“Nah, lucu
Aku mengangguk-angguk dan semakin tertarik. Kepala Dinas tersenyum makin lebar dan memberikan padaku sebuah buku berukuran tebal dengan desain sampul yang mencolok. “Ini kuberi kamu buku panduan praktis bagaimana memelihara
Setelah itu Kepala Dinas mempersilahkan aku kembali ke ruanganku. Beliau menjabat tanganku erat-erat sambil berpesan agar aku memelihara dan merawat sungguh-sungguh
Semenjak pertemuan itu aku menjadi makin akrab dengan Kepala Dinas. Aku juga bertambah teman terutama di kalangan pecinta
********
Diposting oleh Tutorial Club di 00.47 0 komentar
Label: Cerpen